1/29/2008

Sastra: FLP, Sastra Islam, dan Seni Tinggi

-- Topik Mulyana*

SESEORANG yang berada di sebuah menara, apalagi menara gading, akan melihat segala sesuatu di bawahnya dengan lebih leluasa. Ia dapat melihatnya dari sudut ke sudut, dari titik ke titik, dalam waktu singkat. Akibatnya, ia akan memiliki pandangan-pandangan idealistis untuk melihat segala sesuatu yang berada di bawahnya.

Pun demikian dengan dunia kesusastraan.

Kaum elite sastra yang bersemayam di menara gading kesusastraan sering kali mengangankan terciptanya karya adiluhung, dengan segala keruwetan jalinan peranti linguistik dan ketebalan lapisan-lapisan makna, yang dibaca masyarakat luas sehingga terciptalah semacam kehidupan intelek dan "berbudaya".

Ketika ada karya yang dinilainya rendah tengah booming di pasaran, mereka merasa cita-cita idealistisnya terganggu. Mereka pun hanya bisa nyinyir dengan menyebut booming-nya karya tersebut sebagai produk budaya massa atau gerakan industrialisasi belaka; nilai-nilai adiluhung yang direduksi untuk kepentingan bisnis. Mereka juga menghakimi masyarakat yang menyambut karya tersebut dengan meriah sebagai masyarakat yang "tak berbudaya", menyebut penulis narsis, dan mengecap penerbitnya sebagai pihak yang melakukan "bisnis bertopeng dakwah".

Seni tinggi, seni rendah


Dalam lembar Khazanah, Pikiran Rakyat, 3/11/07, Kurniasih menulis tentang wajah sastra Islam berdasarkan definisi seni tinggi dan seni rendah. Menurut saya, pendefinisian ini terlampau simplistis dan cenderung elitis. Lagi pula, dalam kaitannya dengan sastra Islam, ruangan untuk tulisan tersebut terlampau sempit, sedangkan sastra Islam adalah konsep dan sejarah yang teramat panjang di mana konsep dan sejarah ini adalah dua aspek yang berkait-kelindan.

Terbukti, Kurniasih membuat definisi seni tinggi dalam sastra Islam hanya berdasarkan konsep. Itu pun hanya satu konsep, yaitu sastra profetik: "sastra yang bermaksud melampaui keterbatasan akal pikiran manusia dan mencapai pengetahuan yang lebih tinggi. Caranya adalah dengan mengambil pemahaman dan penafsiran kitab suci atas realitas serta memilih epistemologi strukturalisme transendental".

Kurniasih juga menyebutkan wajah lain dari sastra Islam adalah suluk: "sastra yang dihasilkan oleh seorang pejalan (pesuluk) dalam menyampurnakan agamanya. Melalui aspek paling mendasar dari agama, syariat, untuk kemudian merayap pada tahapan takrifat (tarikat?), hakikat, dan makrifat". Bukankah ini adalah perjalanan spiritual yang disebut Iqbal sebagai "revolusi kenabian" yang menjadi ciri utama sastra profetik? Jika demikian, apakah suluk merupakan wajah lain dari sastra Islam ataukah hanya wajah lain (baca: bagian dari) sastra profetik?

Penciptaan sastra profetik, apa pun caranya, mesti bersumber pada kisah-kisah biblikal, wabilkhusus kisah para nabi. Dengan demikian, mensyaratkan adanya aspek sosial (habluminannas). Sementara banyak sekali pengarang Muslim yang mengarang cerita yang temanya tidak tampak sebagai "mengambil pemahaman dan penafsiran kitab suci atas realitas", seperti Ibnu Thufail yang mengarang Hayy bin Yaqzhan yang mengisahkan kehidupan seorang anak manusia di sebuah pulau tak berpenghuni sejak lahir, namun mampu mengenali Tuhan. Hayy bin Yaqzhan bahkan menolak ketika diajak hidup bersosial.

Demikian juga dengan Syekh Nizami yang mengarang Layla Majnun yang lagi-lagi bertitik berat pada tokoh utama yang asosial. Selain itu, juga Kalilah wa Dimnah, fabel-fabel yang diterjemahkan oleh Ibnu Al Muqaffa dari kitab kuno Pancatantra karya Mpu Baidaba dari tanah Hindustan yang hidup sebelum Masehi.

Dengan demikian, mendefinisikan seni tinggi dalam sastra Islam hanya berdasarkan pada sastra profetik jelas tidak memadai dan timpang, di samping secara historis tidak menyadari bahwa karya sastra, termasuk sastra Islam, adalah produk budaya yang tidak mengenal kata autentik; ia lahir dari hasil sintesis dan asimilasi dari sastra-sastra sebelumnya.

Kemudian, Kurniasih menulis tentang seni rendah: "Masyarakat massa terbentuk melalui kekuatan teknologi (mekanisasi, industrialisasi), organisasi ekonomi (pabrik, pasar, advertensi), diferensiasi sosial (kelas, suku, agama), mobilisasi politik (negara, partai), dan budaya (musik pop, pendidikan, media massa). Dari masyarakat massa itu, dihasilkan budaya massa yang merupakan produk dari mayoritas yang `tak berbudaya`, berbeda dengan budaya adiluhung yang dihasilkan elite."

Kalimat terakhir dari pernyataan itu jelas layak dipertanyakan. Jika berpijak pada definisi tersebut di atas, kaum Muslimin adalah sebuah masyarakat massa yang dibentuk berdasarkan nilai-nilai agama Islam. Namun, dari setiap peradaban yang dibangunnya, banyak lahir para seniman dan sastrawan besar yang menghasilkan karya-karya adiluhung. Contoh lain, bagaimana A. S. Dharta (Endang Rodji) dan Pramoedya Ananta Toer, dengan penuh kesadaran, menerjunkan diri dalam mobilisasi budaya sekaligus politik, yakni mendirikan dan menggiatkan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan hal itu tidak mengurangi kualitas literer karya-karya mereka ketika mereka berkarya.

Selain itu, asumsi bahwa "budaya massa merambah sampai ke dunia sastra Islam" adalah pandangan yang terlampau sinkronis, yaitu seakan-akan hal itu baru terjadi saat ini. Nun di masa lalu sana, sekitar akhir tahun 1930-an, di ranah Sumatra terjadi perdebatan yang cukup serius mengenai kemunculan novel populer. Saking seriusnya, Mohammad Hatta yang saat itu sedang berada di pengasingan turut bersuara yang intinya tidak setuju dengan penerbitan karya semacam itu.

Perdebatan itu sendiri dipicu oleh munculnya majalah-majalah roman yang berisi novel-novel bertemakan kisah percintaan, misteri, dan horor. Menariknya, beberapa penulis dan pemimpin majalah roman itu adalah para intelektual Muslim, seperti Jusuf Sou`yb, Rifa`i Ali, Tamar Djaja, A. M. Pamoentjak (Zainal Abidin Ahmad), dan Hamka.

Tentu saja yang paling menonjol adalah nama yang disebut terakhir. Selain karena seorang ulama besar, Hamka adalah orang yang paling disorot oleh mereka yang kontra terhadap novel yang oleh Parada Harahap kemudian disebut "roman pitjisan" itu karena terbilang produktif dan bersikukuh dengan apa yang dikerjakannya itu.

Memang, tak dimungkiri, oplah penjualan majalah-majalah dan buku-buku roman picisan itu mencapai angka fantastis pada waktu itu, yaitu terjual hingga 5.000 eksemplar sekali cetak (dengan perbandingan, majalah lain biasanya terjual paling banyak 1.000 eksemplar). Namun, yang layak disimak adalah penuturan Hamka ketika ditanya mengapa seorang kiai ikut-ikutan mengarang roman. Agama tidak ada melarang itu. Jika kita mengarang dengan maksud dan tujuan yang tentu... Sebahagian besar kita tujukan kepada almastalul a`la, menuju ketinggian budi pekerti... (KPG, 2000).

Nirsastra

Forum Lingkar Pena adalah sebuah organisasi penulisan terbesar saat ini. Dalam salah satu anggaran dasarnya, ia memiliki misi mencerdaskan mayarakat Indonesia melalui budaya membaca dan menulis. Jadi, target utamanya adalah bagaimana masyarakat gemar membaca dan menulis, bukan bagaimana menghasilkan karya yang adiluhung, seperti "yang dihasilkan kaum elite itu".

Oleh karena itu, jangan heran jika, meski anggotanya ribuan, karya-karyanya masih dipandang sebelah mata. Selain itu, yang "dilawan" oleh FLP bukanlah karya-karya sastra "serius", melainkan karya-karya seperti chiklit dan teenlit. Novel-novel chiklit dan teenlit itu perlu "dilawan" karena di dalamnya diasumsikan mengandung nilai-nilai yang dianggap merusak akhlak, seperti hedonisme dan sekularisme.

Dengan kemasan ngepop-nya, FLP tampil sebagai chiklit dan teenlit yang menawarkan nilai-nilai Islam. Jangan heran pula jika para pembaca, yang sebagian besar remaja itu, menyambutnya dengan meriah. Para penyambutnya pun rata-rata adalah mereka yang bergiat dalam aktivitas dakwah Islam, seperti organisasi mahasiswa Islam, kader partai Islam, dan remaja masjid yang sebelumnya merupakan masyarakat nirsastra, bahkan cenderung alergi terhadap karya sastra. Bukankah itu merupakan hal yang menggembirakan?

Memanfaatkan suasana kemeriahan tersebut sekaligus mengantisipasi meredupnya pamor para penulis pionir (Helvy Tiana Rosa, Asma Nadia, Muthmainnah, Izzatul Jannah, dan Sakti Wibowo), FLP kemudian mengelola dengan lebih serius para anggotanya yang memiliki potensi besar untuk kemudian di-blow up menjadi semacam ikon baru bagi FLP. Hal ini dirasa perlu karena sebagai organisasi penulisan yang berorientasi pada pengaderan anggota dan sebagai bagian dari gerakan dakwah Islam, FLP amat membutuhkan kekuatan dan kebesaran aura eksistensialnya guna merekrut sebanyak mungkin anggota dan menembak seluas mungkin sasarannya. Di antara sekian kandidat dengan pelbagai kriterianya, terpilihlah Habiburrahman el Shirazy.

Melihat "militansi literer" para anggota FLP yang ribuan itu, tentu saja penerbit tidak tinggal diam. Hasrat untuk menebar dakwah pun "berjabat tangan" dengan kapitalisme.

Dengan demikian, menjustifikasi novel Ayat-ayat Cinta sebagai "gerakan industrialisasi" jelas merupakan sikap yang kurang arif. Si penilai hanya melihat dari segi penerbit (proses produksi), tidak dari segi penulis (proses kreatif dan karya), dan Forum Lingkar Pena (basis ideologis yang turut membidani kelahiran karya tersebut).

Selain itu, juga tidak sepenuhnya benar jika dikatakan bahwa budaya massa "merambah" sampai ke dua sastra Islam karena FLP justru dengan sengaja menggunakan budaya massa tersebut sebagai kendaraan operasionalnya.

Ahmadun Yosi Herfanda melihat fenomena berkomprominya antara karya sastra (idealisme) dan kepentingan penerbit (kapitalisme) dengan lebih optimistis. Ia menyadari sepenuhnya bahwa bagi dunia industri, keuntungan adalah segalanya. Penerbit memiliki "kepentingan untuk mengembalikan modal dan meraih keuntungan, serta kesadaran untuk memberikan royalti yang layak guna meningkatkan kesejahteraan penulis.... Royalti dan apresiasi yang memadai tidak akan didapat penulis jika buku-bukunya tidak laku".

Dengan demikian, gerakan industrialisasi buku sastra (jika mau disebut demikian) tidak selamanya merugikan dunia sastra Indonesia. Dengan harga yang lebih murah, kemasan menarik, dan format yang praktis, ia justru berkesempatan mengalami pendistribusian yang lebih luas. Ditambah dengan bahasanya yang relatif mudah dicerna, masyarakat calon pembaca tidak akan enggan menghampirinya.

Senada dengan itu, Tamar Djaja, 68 tahun lalu, menyimpulkan bahwa "bahasa cerita roman itu berguna bagi masyarakat kita di Indonesia" (KPG, 2000). Dengan kalimat lain, penyebaran novel populer yang lebih baik dapat membantu meningkatkan kemampuan berbahasa Indonesia bagi masyarakat luas. Saya kira, untuk konteks masa kini, FLP, dengan novel-novel remaja Islaminya, telah memberikan kontribusi itu. Tidak terlampau berlebihan kiranya jika Taufik Ismail pernah memuji FLP sebagai "anugerah bagi bangsa Indonesia".

Jadi, pertama, berbicara sastra Islam adalah berbicara tentang konsep dan sejarah yang teramat panjang dan berliku. Ia telah melalui banyak sekali proses, seperti akulturasi, asimilasi, sofistikasi, dan dialektika sehingga membuat definisi tentangnya harus disertai dengan genealoginya yang sudah pasti memerlukan ruangan yang lebih luas.

Kedua, novel populer, roman picisan, seni rendah, atau apa pun namanya, bukanlah fenomena kekinian dan tidak mesti ditanggapi degan sinis dan penuh curiga. Ia adalah bagian dari sejarah sastra kapan pun. Disukai atau tidak, diakui atau tidak, ia adalah bagian tak terlepaskan dari tradisi sastra mana pun, entah itu sebagai anak kandung, anak tiri, atau anak haram sekalipun. Selain itu, ia tidak melulu diproduksi oleh masyarakat massa yang materialistis dan mayoritas "tidak berbudaya" itu.

Baik Hamka maupun FLP, misalnya, memiliki tujuan luhur dalam memproduksinya. Kalaulah di perjalanannya terdapat banyak sekali hal yang tidak sesuai dengan harapan, seperti yang dikatakan Hamka, "Kita berusaha membuat ceritera yang bagus.... Tetapi di luar tahu kita, ada juga agaknya kesalahan itu. Kesalahan itu diketahui oleh ahli keritik bilamana ceritera itu telah keluar" (KPG, 2000).

Jadi, ketimbang pesimistis dan cenderung menghakimi sebuah karya dengan sebutan "seni rendah", "budaya massa", atau "gerakan industrialisasi" (walaupun Anda mengutip istilah terakhir ini dari Hawe Setiawan), alangkah lebih baiknya jika Anda mengkritisinya dengan penuh tanggung jawab dan apresiatif yang tentu akan lebih berguna bagi si pengarangnya sehingga di hari kemudian ia akan menghasilkan karya yang lebih baik lagi. Maka, turunlah sejenak dari menara gading dan simpanlah dahulu terminologi-terminologi yang terlampau melangit itu guna melihat segala yang ada di "tempat rendah" secara lebih benar.

* Topik Mulyana, Pegiat FLP Bandung dan editor Penerbit Syaamil Cipta Media

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 15 Desember 2007

Khazanah : Monumen Sutardji Calzoum Bachri

-- Maman S Mahayana*

KETIKA Sutardji Calzoum Bachri (SCB) memproklamasikan kredo puisinya: 'Membebaskan kata dari beban makna, menghancurkan penjajahan gramatika, dan mengembalikan kata pada awalnya, pada mantra' dan coba mengimplementasikan sikap kepenyairannya itu dalam karya, jagat sastra Indonesia–-khasnya puisi--seketika seperti dilanda kegandrungan eksperimentasi. Semangat kembali kepada tradisi dan kultur etnik--yang dirumuskan Abdul Hadi WM sebagai kembali ke akar kembali ke sumber--laksana memasuki zaman aufklarung: menyebarkan pencerahan betapa sesungguhnya Nusantara punya warisan kultur agung.

Kumpulan puisi Sutardji Calzoum Bachri, O, Amuk, Kapak (1973) yang sarat mantra seperti sakelar yang mengingatkan sastrawan—penyair kepada corak keindonesiaan yang menjelma dengan semangat dan elan baru. Bukankah keindonesiaan terbentuk melalui perjalanan panjang dan rumit proses akulturasi dan inkulturasi etnisitas berhadapan dengan kebudayaan Hindu, Buddha, Islam, dan belakangan Barat? Di sana kultur etnik menjadi akar dengan tradisi sebagai sumber wawasan estetiknya. Kembali ke kultur etnik, kembali ke tradisi, itulah gerakan estetik yang diusung sastrawan pada 1970-an. Dan untuk bidang puisi, ikonnya tidak lain, Sutardji Calzoum Bachri.

Sutardji Calzoum Bachri dan sastrawan seangkatannya memahami tradisi tidak lagi sebagai sesuatu yang statis, sudah selesai, dan kemudian dilupakan yang dikatakan generasi Surat Kepercayaan Gelanggang dengan "...kami tidak ingat kepada mengelap hasil kebudayaan lama sampai berkilat dan untuk dibanggakan..." Tradisi bagi sastrawan Angkatan 70-an itu ditempatkan sebagai sesuatu yang dinamis, elastis, terus hidup dan dihidupi masyarakatnya. Tradisi adalah sebuah sekrup dari proses dinamika kebudayaan yang hidup dan berkembang. Maka, ia harus selalu berada dalam semangat melakukan tafsir ulang sesuai dengan keperluan masa kini.

Abdul Hadi mengatakan, tradisi bukan sekadar produk sejarah, melainkan juga sebagai sistem pengetahuan holistis yang berkaitan dengan kehadiran rahasia Yang Transenden dalam kehidupan. Dengan semangat itulah, SCB memperlakukan tradisi Melayu sebagai ibu kebudayaan yang melahirkan dan membesarkannya sebagai sumber wawasan estetiknya. Ia menjadi alat kesadaran untuk berbuat—mengungkap-mengucap.

Salah satu sarana untuk mengungkap-mengucap itu adalah puisi. Dan SCB memahami benar bahwa puisi bermain dalam tataran bahasa dengan kata sebagai intinya. Maka, ia menerka hakikat kepenyairannya dalam cengkeraman kegelisahan yang hidup yang pencariannya tidak sekadar mencipta ilham atau mengolah kata sebagaimana yang dilakukan Chairil Anwar. Penyair hendaknya tidak bertindak semata-mata sebagai pengguna kata, tetapi juga pencipta kata, pencipta makna dalam kerangka membangun kehidupan fiksional. Oleh karena itu, puisi bukan sekadar menghidupkan kembali bahasa yang sudah usang (arkaik) menjadi lebih segar sebagaimana yang dilakukan Amir Hamzah. Juga tidak sebatas memanfaatkan bahasa sehari-hari sebagai alat ucap yang penuh vitalitas, seperti yang diperlihatkan Chairil Anwar.

Bagi SCB, tugas penyair adalah melakukan penjelajahan, menukik—mengorek sampai ke inti kata. Mencipta kata dan membiarkan menemukan maknanya sendiri. Di sinilah, pesan spiritualitas SCB mengembalikan kata pada mantra akan menyesatkan jika ditafsirkan secara letterlijk, harfiah! Pesan spiritualitasnya mesti dimaknai lebih jauh sebagai salah satu upaya mengembalikan rahasia yang transenden sebagai ruh puisi. Maka, puisi bukan semata-mata deretan kata-kata yang membangun makna sintaksis—semantis, melainkan kata yang dapat memancarkan sihir, ritme yang membangun sugesti, dan ekspresi yang dapat menghidupkan sakelar imajinasi, menginspirasi untuk membawa pembaca—pendengarnya menerbangkan asosiasinya ke wilayah pengalaman spiritualitas masing-masing. Puisi harus menyimpan kekuatan magis yang membetot pembaca—pendengarnya ke dalam wilayah transendensi yang mahaluas, yang tidak terbatas ruang dan waktu.

Harus diakui, pada dasawarsa 1950-an, Ajip Rosidi coba menawarkan kultur keindonesiaan sebagai lahan garapan sastrawan yang kemudian memunculkan begitu banyak kosakata bahasa daerah. Tetapi pengucapannya belum lepas dari pengaruh Chairil Anwar dan sastrawan seangkatannya. Seperti Mohammad Yamin yang memperkenalkan tubuh soneta dalam jiwa pantun. Bentuk luar dan kemasannya seolah-olah baru, meskipun isinya belum beranjak dari cengkeraman jiwa yang lama. Hal yang juga terjadi pada diri Sutan Takdir Alisjahbana. Ia menawarkan konsep estetik puisi baru. Tetapi, ia juga sekadar menawarkan wacana, lantaran puisi-puisinya juga tidak dapat melepaskan diri dari pantun.

Popo Iskandar mengungkapkan, eksplorasi SCB lebih mendalam jika dibandingkan dengan Chairil Anwar. Konteks pernyataan itu tentu saja bukan pada perbedaan zaman, melainkan pada usaha melakukan penggalian pada hakikat kata, mengorek sampai ke inti kata yang kelak bakal menjadi ruh, jiwa, dan tubuh puisi. Itulah semangat penyair yang hidup. Ia bukan penulis puisi yang cukup menderetkan kata-kata yang membangun rangkaian makna. Penyair ialah pencipta dunia lewat kata-kata. Ia juga seorang pesulap, pawang kata-kata yang piawai menyimpan filosofi seninya, estetika, wawasan, elan, bahkan ideologinya tentang kesenian, kemanusiaan, dan kehidupan.

Berbagai tanggapan kemudian bermunculan, tetapi tidak ada yang coba membandingkan reputasi dan kebesaran SCB dengan Chairil Anwar. Bahkan A Teeuw dan Umar Junus menyebutkan puisi SCB, seperti pot atau Shanghai dan beberapa puisi SCB lainnya yang semodel dengan itu sebagai tidak ada artinya.

***

Sesungguhnya, sejauh manakah capaian estetik SCB? Relevankah kita membandingkan monumen yang telah ditancapkan Chairil Anwar atau para penyair lainnya dengan monumen (:capaian estetik) SCB? Jika Dami N Toda menempatkan Chairil Anwar sebagai mata kanan dan SCB sebagai mata kiri sastra Indonesia, saya--setelah coba mendalami ceruk kedalaman puisi-puisi SCB, coba menangkap makna di balik kesederhanaan dan kelincahpiawaian naratif cerpen-cerpennya, mencermati pandangan kritis para pengamat sastra Indonesia tentang Sutardji Calzoum Bachri dan terhanyut saat menjelajahi filsafat seninya dalam Isyarat (2007)--rasanya harus berkesimpulan: Sutardji Calzoum Bachri lebih besar daripada Chairil Anwar!

* Maman S Mahayana, Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia

Sumber: Media Indonesia, 16 Desember 2007

Menulis di Atas Mantera

-- Sutardji Calzoum Bachri

SUDAH lebih dari tiga puluh tahun yang lalu sikap kepenyairan saya paparkan di berbagai kesempatan, antara lain seperti dalam acara pembacaan sajak. Sedikitnya masyarakat pecinta puisi agaknya sudah tahu.

Saya adalah penyair yang menulis tidak dari suatu kekosongan. Saya menulis di atas kertas yang telah berisi tulisan. Saya menulis di atas tulisan. Tulisan itu adalah hasil budaya dari subkultur yang sangat saya akrabi, yaitu budaya Riau berupa mantra.

Dengan atau dari atau di atas mantra itulah saya menulis. Dalam aktivitas menulis, kadang bagian-bagian mantra itu saya pertebal dengan tulisan saya. Kadang mantra itu malah tertutup, terhapus, atau terlupakan karena tulisan saya yang berada di atasnya. Memang salah satu peran menulis ialah upaya untuk menutup atau melupa, yakni melupakan nilai-nilai atau ihwal yang tak lagi relevan untuk masa-masa kini atau masa depan, dengan demikian lebih terfokuskan (tambahan makna) pada bagian-bagian atau nilai-nilai yang masih bermakna untuk masa kini ataupun untuk masa mendatang.

Maka menulis di atas tulisan atau di atas mantra bukanlah sekadar menerima mantra sebagai sesuatu nilai yang siap pakai, tetapi suatu pertemuan atau dialog kritis kreatif yang pada akhirnya memberikan upaya perpanjangan makna bagi mantra lewat kemampuan kreatif dari penyairnya.

Kita tahu sejak tahun 70-an banyak penyair dan para sastrawan lainnya yang kembali mengakrabi subkulturnya masing-masing. Tanpa gembar-gembor untuk memperkaya kebudayaan nasional dengan kebudayaan daerah, para sastrawan dan seniman memberikan ventilasi ekspresi daerahnya tanpa pula menghilangkan ciri khasnya sebagai individu seniman. Mereka betah dengan kultur daerahnya dan tidak merasa terasing atau mendurhakainya. Ia tidak seperti seniman sebelumnya yang antara lain merasa dirinya sebagai binatang jalang yang terbuang, atau malin kundang atau dianggap manusia terbatas terhadap nilai-nilai dari kultur daerahnya.

Kultur lokal ini memberikan kebetahan batin dan menimbulkan rangsangan kreatif bagi para seniman untuk menciptakan karya-karyanya dan sekaligus karakternya.

Kebudayaan tanpa karakter bisa mengakibatkan pelakunya jatuh pada kekosongan dan kehampaan makna. Hidup menjadi pragmatis praktis dan manusia bisa dipandang sebagai nomor-nomor fungsional belaka.

Dalam kancah pemikiran kebudayaan di Indonesia, kesadaran akan pencarian kepribadian menjadi sangat penting. Boleh dikatakan upaya mencari karakter ini hampir sama bermula dengan sejarah kesusastraan modern kita yaitu mulai dari zaman Pujangga Baru sekitar tahun 30-an.

Sebelum Indonesia merdeka, para budayawan dan seniman kita telah merenungkan dan memperdebatkan karakter apa yang akan dianut atau yang menjadi model bagi Indonesia yang kelak merdeka.

Polemik Kebudayaan yang bertahun-tahun berlangsung sejak sekitar tahun tiga puluhan, sebenarnya adalah upaya mencari model lokalitas budaya yang ingin dianut dalam skala besar: Barat atau Timur dengan tokoh-tokohnya Takdir Alisyahbana yang ingin mengadopsi Barat versus Sanusi Pane dan kawan-kawannya yang menyarankan jangan melupakan Timur.

Lewat keberhasilan karya-karya Chairil Anwar yang penuh dengan vitalitas individual, buat sementara, kelompok yang menjagokan Barat memenangi polemik itu.

Namun sejak tahun 70-an, para sastrawan dan seniman lainnya tidak lagi memedulikan masalah Barat atau Timur. Bagi mereka, familiaritas atau keakraban pada suatu nilai dari kultur tertentulah yang menjadi dasar pijakan dan rangsangan untuk berkarya. Ilham mereka muncul dari nilai-nilai kemanusiaan dan kehidupan yang sangat familier untuk mereka.

Karena biasanya yang sangat dikenal dan diakrabi adalah kultur lokal atau tradisi daerah tempat mereka dilahirkan dan dibesarkan. Oleh sebab itu warna lokal, kultur setempat, tradisi, dan mitos-mitosnya menjadi acuan bagi pergulatan kerja kesenian mereka. Akibat kerja mereka, nilai-nilai tradisi lokal menjadi modern, segar kembali. Di tangan para seniman ini, tradisi yang dulunya sering bersikap defensif menjadi kreatif. Unsur kreatif ini akan memperpanjang eksistensi nilai-nilai tradisi atau warna lokal dalam kehidupan masyarakat mendatang, dalam menciptakan sejarah.

Dalam menciptakan sejarah, puisi memiliki peran yang unik. Di satu sisi ia adalah buah dari sejarah. Di sisi lain, ia adalah benih untuk sejarah. Buah pahit bagi Belanda dari sejarah kolonialismenya adalah sebuah puisi besar yang berjudul Sumpah Pemuda, diciptakan oleh sekumpulan pemuda yang tidak mengklaim diri sebagai penyair.

Sumpah Pemuda selama ini memang tidak dikenal sebagai puisi. Tetapi jika kita lihat apa yang dikandung dalam teksnya adalah imajinasi yang ditampilkan lewat kata-kata yang padat, ringkas, dan kuat makna. Karena itu, ia memiliki syarat sebagai sebuah puisi, sebagai karya imajinasi yang padat kata dan kuat makna.

"Kami putra-putri Indonesia berbangsa satu bangsa Indonesia, bertanah air satu tanah air Indonesia, berbahasa satu bahasa Indonesia". Dalam kenyataannya, pada waktu itu tahun 1928 belum ada atau tidak ada putra-putri Indonesia, yang ada putra-putri Jawa, Sumatra, Sunda, Maluku, Sulawesi dan seterusnya. Juga tidak ada bangsa Indonesia atau tanah air Indonesia, yang nyata ada adalah Hindia Belanda. Tidak ada bahasa Indonesia yang ada bahasa-bahasa daerah dan bahasa Melayu sebagai lingua franca.

Sebagaimana halnya puisi, kandungan teks Sumpah Pemuda adalah imajinasi. Suatu imajinasi yang diungkapkan dengan bahasa yang ringkas, padat, ketat, dan tangkas, suatu hal yang lazim disyaratkan pada puisi.

Puisi Sumpah Pemuda inilah yang merupakan benih yang kelak menumbuhkan sejarah perjuangan bangsa untuk meraih kemerdekaan, menjadikan imajinasi yang terkandung dalam sajak itu sebagai kenyataan.

Puisi-puisi besar atau sekelompok sajak dari beberapa penyair bisa merupakan firasat atau pertanda zaman untuk suatu perbaikan martabat manusia dan kehidupan. Ia bisa memberikan inspirasi untuk menciptakan sejarah.

Maraknya perpuisian yang kembali pada kultur dan tradisi daerah yang heterogen bisa dilihat sebagai koreksi terhadap penafsiran kesatuan dari teks puisi Sumpah Pemuda yang cenderung homogen, seraya mengisyaratkan imbauan untuk lebih memerhatikan warna-warni keragaman kultural dan kepentingan daerah masing-masing.

Tetapi gerakan sastra subkultur yang bermula di tahun 70-an itu barulah mendapatkan ventilasi sosial-politiknya setelah datangnya era Reformasi berupa maraknya otonomi daerah sekitar tahun 2000-an.
Keterlambatan 30 tahun ini bisa menunjukkan bahwa suatu politik yang berlandaskan kultural memang masih merupakan cita-cita.

* Sutardji Calzoum Bachri, Penyair

Sumber: Media Indonesia, 16 Desember 2007