2/22/2008

Bahasa Sebagai Struktur, Wacana, Kondisi Eksistensial

BAHASA adalah ajang pertemuan berbagai penelitian seperti fenomenologi, linguistik, filsafat bahasa, teologi, psikoanalisis, antropologi budaya, sosiologi, historiografi, ilmu perbandingan agama, dan seterusnya. Lewat tulisan ini, bahasa diletakkan sebagai medium manusia dalam berhubungan dengan dunia luar dirinya seperti alam, makhluk infrahuman, sesama manusia, sekaligus mengonstitusikan hal ihwal di luar dirinya. Bahkan menegaskan bahwa bahasa merupakan media penegas keberadaan manusia itu sendiri.

Asumsi Strukturalis

Belakangan ini linguistik kontemporer sangat kuat dipengaruhi pendekatan struktural. Pendekatan struktural sebagai metode yang otonom boleh dikatakan bermula dari terbitnya De Saussure, “Course de Linguistique Generale” di Paris tahun 1916. Salah satu gagasan De Saussure yang sudah menjadi klasik ialah distingsi langue (bahasa sebagai sistem tanda atau kode) dan parole (bahasa sebagai wacana).

Parole bersifat individual dan intensional sebab melalui ucapan seorang pembicara menyampaikan sesuatu tentang sesuatu kepada orang lain; parole selalu merupakan peristiwa yang kebetulan dan sewenang-wenang (arbitrary). Langue, sebaliknya, merupakan struktur kolektif dan anonim, yang relatif stabil dan merupakan aturan yang mengikat masyarakat bahasa. Akan tetapi sesudah membuat distingsi ini de Saussure langsung mengambil keputusan epistemologis dengan memberi prioritas kepada langue.

Pada mulanya pendekatan struktural dipakai untuk meneliti satuan bahasa yang lebih kecil dari kalimat, seperti fonem dan morfem. Akan tetapi dengan cepat sekali meluas dan diterapkan pada bidang lainnya. Pertama, model ini dipakai untuk meneliti wacana yang lebih luas dari kalimat. Propp misalnya menggunakannya untuk meneliti cerita-cerita rakyat Rusia. F. Braudel dalam penulisan sejarah dan Greimas dalam penelitian fiksi di Prancis. Kedua, struktural selanjutnya dipakai untuk meneliti kebudayaan dalam arti yang seluas-luasnya melampaui studi bahasa yang langsung.

Perluasan aplikasi model struktural dari fonemik dan morfologi ke bidang kebudayaan dalam arti luas ini hanya mungkin dibuat dengan asumsi dasar dari pihak strukturalisme yaitu bahwa wacana dan pelbagai aspek kebudayaan tersusun menurut satuan bahasa yang lebih kecil dari kalimat. Justru asumsi inilah yang harus dipertanyakan secara kritis untuk melihat batas keabsahannya. Dan karena strukturalisme bertolak dari studi linguistik, kritik terhadap strukturalisme juga harus dimulai dari bahasa.

Salah satunya dikemukakan linguis bernama Hjelmslev lewat “Prolegomena to a Theory of Language”. Linguis inilah yang pertama-tama mendefinisikan “struktur” sebagai suatu kesatuan otonom yang terdiri dari relasi-relasi intern. Teori Hjelmslev dapat disebutkan dalam empat postulat berikut ini;

1) Bahasa adalah objek penelitian sebuah ilmu empiris bernama linguistik.

2) Dalam bidang ilmu bahasa ini kita harus membedakan linguistik sinkronis (ilmu tentang bahasa sebagai sistem) dan linguistik diakronis (ilmu tentang bahasa dan perubahannya). Strukturalisme meletakkan linguistik diakronis di bawah linguistik sinkronis sebab sistem yang stabil lebih dipahami dari pada perubahan.

3) Di dalam struktur bahasa tidak ada tanda atau kode yang memiliki arti dari dirinya sendiri. Arti sebuah tanda semata-mata bergantung pada hubungan timbal balik antara tanda-tanda dalam struktur tersebut. Bahasa adalah sebuah sistem yang tertutup yang terdiri dari seperangkat unsur-unsur kecil yang terbatas, misalnya jumlah fonem, morfem, dan kaidah dalam setiap bahasa niscaya bersifat terbatas.

Karena bahasa merupakan sebuah sistem tertutup, arti sebuah tanda bahasa tidak bergantung dari maksud subjektif pembicara ataupun dari referensinya pada dunia objektif. Artinya bergantung semata-mata dari oposisi antara signifier dan signified. Dengan kata lain, makna sebuah tanda dalam pengertian strukturalis adalah nilai diferensialnya. Apabila kita mengikuti postulat strukturalis secara konsekuen, pada akhirnya bahasa kehilangan statusnya sebagai wacana dan dengan itu kehilangan referensinya pada subjek dan pada dunia konkret. Bertolak dari sini beberapa pemikir secara ekstrem sampai kepada teori tentang the death of subject, pengingkaran manusia sebagai subjek yang bertanggung jawab. Teori bahasa ternyata memiliki dampak yang serius.

Kembali ke wacana

Pendekatan struktural telah menyumbangkan hasil-hasil penelitian dalam linguistik dan ilmu sosial, tetapi sebuah teori bahasa yang mengabaikan wacana mau tak mau akan membawa kita kepada pemahaman yang tidak seimbang mengenai bahasa dan ia malahan dapat membawa dampak negatif bagi pemahaman kita tentang eksistensi manusia. Oleh karena itulah dari kalangan linguis sendiri muncul reaksi membela wacana, tanpa mengabaikan hasil yang telah dicapai oleh pendekatan struktural. Noam Chomsky, misalnya, tidak lagi berbicara tentang forma, tetapi transformasi, bukan tentang struktur, melainkan strukturasi. Teorinya dikenal dengan nama transformational generative grammar. Disebut generative karena ia terutama berurusan dengan kreativitas pemakai bahasa: bagaimana seorang pembicara menghasilkan kalimat-kalimat baru dalam jumlah yang praktis tak terbatas. Disebut transformational karena ia menunjukkan bagaimana terjadi transformasi antarkomponen semantis (yang disebutnya deep structure) dan komponen fonologis (surface structure).

Seorang linguis lain, Benveniste, secara tegas membedakan semiotik dan semantik, dengan pengertian bahwa yang satu tidak bisa disubordinasikan pada yang lain. Semiotik berurusan dengan bahasa sebagai sistem tanda (langue), sedangkan semantik menyelidiki wacana (discourse). Unsur terkenal wacana adalah kalimat, unsur terkecil langue ialah tanda. Bidang semiotik dan semantik, langue dan discourse, tanda dan kalimat, merupakan dua lapisan bahasa yang tidak bisa direduksikan satu terhadap yang lain.

Sebenarnya bahasa sebagai sistem tanda hanya bersifat potensial dan abstrak. Bahasa menjadi aktual dan konkret hanya dalam dan melalui wacana. Struktur tanpa wacana bersifat mati, wacana tanpa struktur adalah proses yang kacau dan tak terpahami. Atas dasar ini Ricoeur merumuskan ciri-ciri wacana sebagai berikut:

1. Wacana adalah dialektik peristiwa dan arti. Peristiwa terjadi hanya sekali dan tak terulang, sedangkan arti dapat diidentifikasikan dan direidentifikasikan; ia bisa diulangi, diungkapkan dengan kata lain, atau diterjemahkan ke dalam bahasa asing.

2. Kalimat sebagai unit terkecil wacana, menyampaikan sesuatu tentang sesuatu melalui gabungan dua fungsi dalam kalimat yang sama: fungsi identifikasi dan fungsi prediksi.

3. Arti wacana bersifat noetis-noematis. Noetis artinya mengacu pada maksud pembicara. Noematis berarti menunjuk kepada realitas sebagaimana disarankan oleh ucapan itu. Memang maksud pembicara dianyatakan di dalam dan melalui arti ucapan, tetapi antara keduanya bisa terjadi kesenjangan (baik karena ketaksadaran individual, maupun karena kata atau kalimat bisa memiliki arti majemuk yang tidak seluruhnya bisa dikontrol oleh maksud eksplisit pembicara).

4. Wacana bisa dilihat secara subyektif adalah tindakan polivalen seorang pembicara. Dan wacana bisa dilihat secara obyektif, adalah dialektika antara makna dan referensi (sense and reference). Sense adalah arti ideal yang tertera di dalam wacana itu, sedangkan reference adalah realitas yang ditunjukkannya.

Singkatnya tentang wacana, ada dua simpulan bisa diperoleh sebagai bukti pertentangan dengan asumsi dasar strukturalisme. Pertama, bahasa bukanlah sebuah objek, melainkan mediasi. Mediasi antara aku dan dunia disebut referensi, mediasi antara aku dan sesama disebut komunikasi, mediasi antara aku dan diriku sendiri disebut pengenalan diri. Secara lebih tegas lagi: bahasa adalah kondisi eksistensial manusia sebagai makhluk yang mengada secara sadar dalam dunia (Gadamer,1977: 59-68). Dengan demikian, aliran pemikiran hermeneutik (seperti Heidegger, Gadamer, Ricoeur) dewasa ini menemukan kembali secara baru definisi manusia yang diberikan Aristoteles: zoon logon echon, yang secara kurang tepat diterjemahkan oleh para pemikir zaman skolastik sebagai animal rationale.

Kedua, apabila kita melihat bahasa secara utuh sebagai sistem dan proses, sebagai struktur dan wacana, kita harus mengatakan bahasa adalah penggunaan yang tak terbatas dari sarana yang terbatas (language is an infinite use of means). Dalam pemahaman bahasa yang demikian kita perlu menggarisbawahi kreativitas manusia.

Dialektika bahasa

Dialektika bahasa antara sktruktur dan wacana dapat ditunjukkan pada beberapa lapisan, yaitu pada tingkat kata, kalimat, penafsiran teks. Dalam kaitan dengan teknik-teknik penyusunan kamus dari tradisi lisan, dapat ditunjukkan dialektika itu pada tingkat kata. Kata memang “kurang” dalam kalimat karena tiap kata yang kita jumpai dalam kamus (ataupun dalam perbendaharaan kolektif lisan kita) hanyalah memiliki arti potensial. Arti itu baru menjadi aktual dalam wacana ketika seorang pembicara menggunakannya untuk menyampaikan sesuatu kepada seorang pendengar. Kata dalam kamus termasuk tatanan semiotis, kata dalam wacana menjadi komponen semantis.

Dari lain pihak, kata “melebihi” kalimat. Kalimat sebagai peristiwa ujaran bersifat sementara, sedangkan kata sebagai kata selalu tersedia untuk penggunaan baru terus-menerus. Dan karena kata selalu dipakai terus-menerus dalam konteks baru, kata memiliki sejarah: ia mengalami sedimentasi dan inovasi arti. Dalam sejarah pemakaian itu kata bisa mendapat lebih dari satu arti. Dengan demikian, kita sampai kepada masalah tentang arti majemuk sebuah kata, yang dalam linguistik disebut polisemi. Dilihat dari linguistik sinkronis, polisemi menunjukkan bahwa satu kata pada saat tertentu sekaligus memiliki arti majemuk. Akan tetapi, pendekatan sinkronis (struktural) tidak menjelaskan bagaimana satu kata dalam sejarah penggunaannya sampai mendapat arti majemuk.

Sebenarnya kata-kata seperti kaki meja, lengan kursi, bintang film mula-mula dipakai secara metaforis, tetapi sesudah penggunaannya menjadi lazim dan diterima umum, arti metaforis itu dibekukan dan masuk ke dalam polisemi kata kaki, lengan, dan bintang. Tampaklah bahwa antara polisemi dan metafor yang hidup terdapat suatu hubungan sirkuler: polisemi termasuk struktur, metafor termasuk proses semantis; pelaziman metafor merupakan kembalinya proses wacana kepada struktur disusul perluasan polisemi; polisemi yang diperluas menjadi struktur untuk penggunaan kreatif dalam metafor baru dan seterusnya.

Kita bisa bertanya lebih lanjut, bagaimana mungkin kata dengan arti majemuk dapat berfungsi di dalam pembicaraan sehari-hari dan dalam tulisan tanpa terlalu banyak menimbulkan kerancuan dan salah paham? Secara umum kita dapat mengatakan bahwa arti persis sebuah kata bergantung dari saringan konteks. Yang dimaksudkan dengan “konteks” bukan hanya tempat kata di dalam wacana, melainkan juga lingkup sosial dan lingkungan hidup yang turut mewarnai makna sebuah kata. Secara lebih rinci Ricoeur membedakan tiga macam strategi bahasa dalam hubungan dengan polisemi. Pertama, bahasa sehari-hari (ordinary language) menggunakan strategi polisemi reduction (pengurangan polisemi) sehingga pembicara dan pendengar bisa saling mengerti secara baik. Kata makan misalnya, memiliki banyak arti. Akan tetapi dari konteks percakapan kita mengerti arti mana yang dimaksudkan seperti makan nasi, makan uang, makan angin, makan garam, dan makan hati.

Kedua, bahasa ilmiah secara lebih radikal mau menghilangkan polisemi supaya setiap kata

Februari 13, 2008 - Ditulis oleh Rabetsa Kariono | Humaniora |

No comments: